Selasa, 15 November 2011

persaudaraan muslim


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan perhatian, teman dan kasih sayang dari sesamanya. Setiap diri terikat dengan berbagai bentuk ikatan dan hubungan, diantaranya hubungan emosional, sosial, ekonomi dan hubungan kemanusiaan lainnya. Maka demi mencapai kebutuhan tersebut adalah fitrah untuk selalu berusaha berbuat baik terhadap sesamanya. Islam sangat memahami hal tersebut, oleh sebab itu hubungan persaudaraan harus dilaksanakan dengan baik.
Hubungan persaudaraan sesama muslim mempunyai kewajiban untuk saling membantu, saling menghormati, menjenguk ketika sakit, mengantarkan sampai ke kuburan ketika meninggal dunia, saling mendoakan, larangan saling mencela, larangan saling menghasud dan lain sebagainya.
Semangat persaudaraan di antara sesama Muslim hendaknya didasari karena Allah semata, karena ia akan menjadi barometer yang baik untuk mengukur baik-buruknya suatu hubungan.
Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersaudara dengan seseorang karena Allah, niscaya Allah akan mengangkatnya ke suatu derajat di surga yang tidak bisa diperolehnya dengan sesuatu dariamalnya.” ( HR. Muslim).











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Persaudaraan Muslim.







 Artinya :
“An-Nu’man bin Basyir berkata, Nabi SAW. Bersabda, ‘Anda akan melihat kaum mukminin dalam kasih sayang dan cinta-mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarlah kepada lain-lain anggota lainnya sehingga badannya terasa panas dan tidak dapat tidur.” (Dikeluarkan oleh Bukhari : (78) kitab “Tatakrama”, (27) bab: “Kasih sayang kepada Manusia dan Binatang”).[1]

Hadits di atas menggambarkan hakikat antara hubungan sesama kaum muslimin yang begitu eratnya menurut Islam. Hubungan antara mereka dalam hal kasih saying, cinta, dan pergaulan diibaratkan hubungan antara anggota badan, yang satu sama lain saling membutuhkan, merasakan, dan tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu anggota badan tersebut sakit, anggota badan lainnya ikut merasakan sakit.
Dalam hadits lain dinyatakan bahwa hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling melengkapi. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesame umat Islam.
Itulah salah satu kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh kaum mukmin dalam berhubungan anatara sesame kaum mukminin. Sifat egois atau mementingkan diri sendiri sangat ditentang dalam Islam. Sebaliknya umat Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu karena persaudaraan seiman lebih erat daripada persaudaraan sedarah. Itulah yang menjadi pangkal kekuatan kaum muslimin, setiap muslim merasakan penderitaan saudaranya dan mengulirkan tangannya untuk membantu sebelum diminta yang bukan didasrakan atas “take and give” tetapi berdasarkan Illahi.
Salah satu landasan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan kepercayaan atau akidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang sebelum Islam selalu berperang dan bercerai-berai tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama baik lahir maupun batin, merka dapat bersatu.
Menurut M Quraisy Shihab, berdasarkan ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an, ada empat macam bentuk persaudaraan :
1.      Ukhuwah ‘ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan ketundukan kepada Allah.
2.      Ukhuwah Insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara karena berasal dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah SAW juga menekankan hal ini melalui sebuah hadits :





3.      Ukhuwah Wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
4.      Ukhuwah fi ad-din al-Islam, persaudaraan muslim. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Kalian adalah saudara-saudaraku, saudara-saudara kita adalah yang dating sesudah (wafat)ku.”

Persaudaraan dalam Islam mengandung arti cukup luas tetapi persaudaraan antar sesama muslim adalah pertama dan sangat utama. Sebagiamana disebutkan dalam ayat :

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Q.S. Al-Hujurat : 10).
Dalam syari’at Islam banyak ajaran yang mengandung muatan untuk lebih mempererat tali persaudaraan dan solidaritas sesama umat Islam, seperti zakat, qurban, ibadah haji, shalat berjamaah, dan lain-lain.

B.     Memelihara Silaturahmi.





Silaturahmi secara bahasa berasal dari dua kata, yakni silah (hubungan) dan Rahim (Rahim perempuan) yang mempunyai arti Hubungan nasab, kata al-Arham (rahim) diartikan sebagai Silaturahmi.[2] Namun pada hakikatnya silaturahmi bukanlah sekedar hubungan nasab, namun lebih jauh dari itu hubungan sesama muslim. merupakan bagian dari silaturrahmi, sehingga Allah SWT mengibarat kan umat Islam bagaikan satu tubuh. Sebagaimana firman-Nya :




“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu m endapat rahmat. (49:10).
Betapa penting silaturahmi dalam kehidupan umat islam terutama dalam pendidikan. Hal ini karena menyambung silaturahmi berpengaruh terhadap pendidikan karena bekal hidup di dunia dan akhirat, orang yang selalu menyambung silaturhami akan dipanjangkan usianya dalam arti akan dikenang selalu.
Orang yang selalu bersilaturahmi tentunya akan memiliki banyak teman dan relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu factor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam berusaha. Selain dengan banyaknya teman akan memperbanyak saudara dan berarti pula ialah meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Hal ini karena telah melaksanakan perintah-Nya, yakni menghubungkan silaturahmi. Bagi mereka yang bertakwa Allah akan memberikan kemudahan dalam setiap urusannya. Allah SWT berfirman :
Artinya : Barang siapa yang bertakwa pada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.
(Q.S. Ath-Thalaq: 2-3).
Bagi mereka yang suka silaturahmi akan dipanjangkan usianya adalah sangat logis meskipun memerlukan pemahaman dan persepsi yang berbeda. Memang benar umur manusia itu sudah dibatasi dan tidak ada seorang pun yang mampu mengubah kehendak Allah. Akan tetapi dengan banyaknya silaturahmi, akan banyak berbuat kebaikan dengan sesama manusia yang berarti pula akan semakin banyak mendapatkan pahala. Banyak silaturahmi pun akan menumbuhkan rasa kasih sayang anatra sesama dan menimbulkan ghairah hidup tersendiri karena ia banyak saudara yang akan bahu membahu dalam memecahkan berbagai problematika hidup yang selalu mengikuti manusia.
1.  Keutamaan Silaturrahim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ).                                   
Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata : bersabda rasulullah saw. : “ Barang siapa yang ingin di luaskan rizqinya dan di panjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi”. ( H.R Bukhari)
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya:
                                                      .وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,
Pertama, Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua, Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak).
Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).
Ketiga, Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]:
Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya ialah :
Pertama, Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairh, beliau bersabda, dipanjangkan umur dan dilapangkan rizkinya oleh allah
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun ‘alaihi).
Kedua, Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala . Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ,
Artinya: “Allah menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).
Ibnu Abi Jamrah berkata,“Kata ‘Allah menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”
Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau,“Para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘Allah menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]
Ketiga, Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam,
Artinya: “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).[2]


C.    Larangan Memutuskan Silaturahmi.



Sudah menjadi sunnatullah bahwa hubungan sesame manusia tidaklah selamanya baik, ada problem dan pertentangan. Hidup adalah perjuangan, tantangan, pengorbanan, dan sekaligus perlombaan anatar sesama manusia. Tidak heran kalau terjadi gesekan antar sesama dan tidak mungkin dapat dihindarkan.
Namun demikian, gesekan atau permusuhan tersebut jangan sampai diperpanjang hingga melebihi tiga hari yanag ditandai dengan tidak saling menegur sapa dan saling manjauhi. Hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Memang benar setiap manusia memiliki ego dan gengsi sehingga hal ini sering mengalahkan akal sehat akan tetapi untuk apa mempertahankan gengsi bila hanya menyebabkan pelanggaran aturan agama dalam berhubungan dengan sesama.
Di antara cara efektif untuk membuka kembali hubungan yang telah terputus adalah dengan mengucapkan salam sebagai tanda dibukanya kembali hubungan kekerabata. Ini bukan bahwa orang yang memulai salam berarti telah kalah tetapi ia telah melakukan perbuatan sangat mulia dan terpuji di sisi Allah SWT.
2.  Bahaya memutuskan silaturrahim
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)                                                                                        
            Dari Jubair bin Muth’im ra. Ia berkata : bersabda Rasulullah saw. : “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan”. (Mutafaqun ‘alaih)

0rang yang memutuskan silaturahmi adalah orang yang dilaknat oleh Allah. Dosa yang dipercepat oleh Allah untuk diberi siksa di dunia dan akhirat adalah memutuskan silaturahmi (selain berbuat zalim). 0rang yang memutuskan silaturahmi doanya tidak dikabulkan oleh Allah. 0rang yang memutuskan silaturahmi tidak akan masuk surga. Bila dalam suatu kaum terdapat orang yang memutus silaturahmi, maka kaum itu tidak akan mendapat rahmat dari Allah.[3]
Allah berfirman:
 “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan  Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka" (QS. Muhammad :22-23)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
artinya :"Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal." Para sahabat lantas mengatakan, "Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a." Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata," Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian"." (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
artinya : "Tidak ada dosa yang Allah swt lebih percepat siksaan kepada pelakunya di dunia, serta yang tersimpan untuknya di akhirat selain perbuatan zalim dan memutuskan tali silaturahmi" (HR Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : "Rahmat tidak akan turun kepada kaum  yang padanya terdapat orang yang memutuskan tali silaturahmi (HR Muslim).
3. Larangan memutuskan silaturrahim
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ, فَيُعْرِضُ هَذَا, وَيُعْرِضُ هَذَا, وَخَيْرُهُمَا اَلَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)                                                                               
            Dari Abu Ayub ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda : “tidak di halalkan bagi seorang muslim memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari, sehingga jika bertemu saling berpaling muka, dan sebaik-baik keduanya adalah yang mendahului memberi salam”. (Mutafaqqun ‘alaih)
Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa balasan disesuaikan dengan jenis amalan. Karenanya, barangsiapa yang menyambung hubungan silaturahminya maka Allah juga akan menyambung hubungan dengannya, dan di antara bentuk Allah menyambungnya adalah Allah akan menambah rezekinya, menambah umurnya, dan senantiasa memberikan pertolongan kepadanya.[4]
Sebaliknya, siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahimnya maka Allah juga akan memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika Allah sudah memutuskan hubungan dengannya maka Allah tidak akan perduli lagi dengannya, Allah akan menjadikannya buta dan tuli, dan menimpakan laknat kepadanya. Dan siapa yang mendapatkan laknat maka sungguh dia telah dijauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah Ta’ala yang Maha Luas.
Dampak yang ditimbulkan bila silaturahim diantara kita putus, sangatlah besar, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Segala amalnya tidak berguna dan tidak berpahala. Walaupun kita telah beribadah dengan penuh keikhlasan, siang dan malam, tetapi bila kita masih memutus tali silaturahim dan menyakiti hati orang-orang Islam yang lain, maka amalannya tidak ada artinya di sisi Allah SWT.
2.      Amalan shalatnya tidak berpahala. Sabda Rasulullah SAW : "Terdapat 5 (lima) macam orang yang shalatnya tidak berpahala, yaitu : isteri yang dimurkai suami karena menjengkelkannya, budak yang melarikan diri, orang yang mendemdam saudaranya melebihi 3 hari, peminum khamar dan imam shalat yang tidak disenangi makmumnya."
3.      Rumahnya tidak dimasuki malaikat rahmat. Sabda Rasulullah SAW : "Sesungguhnya malaikat tidak akan turun kepada kaum yang didalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi."
4.      Orang yang memutuskan tali silaturahmi diharamkan masuk surga. Sabda Rasulullah SAW : " Terdapat 3 (tiga) orang yang tidak akan masuk surga, yaitu : orang yang suka minum khamar, orang yang memutuskan tali silaturahmi dan orang yang membenarkan perbuatan sihir." [5]


BAB III
KESIMPULAN
Salah satu lanadsan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan kepercayaan atau akidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang sebelum Islam selalu berperang dan bercerai-berai tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama baik lahir maupun batin, merka dapat bersatu.
Betapa penting silaturahmi dalam kehidupan umat islam terutama dalam pendidikan. Hal ini karena menyambung silaturahmi berpengaruh terhadap pendidikan karena bekal hidup di dunia dan akhirat, orang yang selalu menyambung silaturhami akan dipanjangkan usianya dalam arti akan dikenang selalu.

 

 

Silaturahmi

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG

Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseora ng.
Sesungguhnya silaturahmi merupakan amal shalih yang penuh berkah, dan memberikan kepada pelakunya kebaikan di dunia dan akhirat, menjadikannya diberkahi di manapun ia berada, Allah swt memberikan berkah kepadanya di setiap kondisi dan perbuatannya, baik yang segera maupun yang tertunda. Keutamaannya sangat banyak, profitnya melimpah, buahnya matang, pohon-pohonnya baik yang memberikan makanannya di setiap waktu dengan izin Rabb-nya
Kaum  muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini.
Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia?
Sesungguhnya sempurnalah dengannya keakraban, tersebar kasih sayang dengan perantaraannya, dan merata rasa cinta. Ia adalah bukti kemuliaan, tanda muru`ah, mengusahakan bagi seseorang kemuliaan, pengaruh, dan wibawa. Karena alasan itulah berlomba-lomba padanya orang-orang mulia yang berakal, maka mereka menyambung (tali silaturrahim) kepada orang yang memutuskan dan memberi kepada orang yang tidak mau memberi, serta bersifat santun kepada yang bodoh. Tidaklah nampak muru`ah kecuali ada padanya tali kekeluargaan yang disambung kembali, kebaikan yang diberikan, kesalahan yang dimaafkan, dan uzur yang diterima.
Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad :22-23).
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’:1).
Silaturahmi merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, apa bila kita melaksanakan perintah tersebut disamping kita mendapatkan pahala juga akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang sangat banyak sekali.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dari interpretasi hadits di atas kami dapat menyimpulkan bahwa :
         Silaturrahim merupakan sebagian dari konsekuensi iman dan tanda-tandanya.
         Silaturrahim adalah penyebab bertambah umur dan luas rizqi.
         Silaturrahim menyebabkan adanya hubungan Allah bagi orang yang menyambungnya.
         Silaturrahim merupakan salah satu penyebab utama masuk surga dan jauh dari neraka, karena tidak akan di terima amalan jika memutuskan silaturrahim.
         Silaturrahim merupakan ketaatan kepada Allah dan ibadah besar, serta petunjuk takutnya hamba kepada Rabb-Nya. Maka ia menyambung tali silaturrahim tatkala Allah menyuruh untuk disambung.
         Di antara besarnya silaturrahim, sesungguhnya sedekah terhadap keluarga sendiri tidak seperti sedekah terhadap orang lain.
B. Signifikansi Silaturrahim
Silaturrahim merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturrahim merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
Hubungan persaudaraan inilah yang menjadikan sesama muslim mempunyai kewajiban untuk saling membantu, saling menghormati, menjenguk ketika sakit, mengantarkan sampai ke kuburan ketika meninggal dunia, saling mendoakan, larangan saling mencela, menghasud dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Alkamil, http://www.alkamil.8k.com/taujihat/Taujihsilaturahim.html
Marfiansyah,http://www.marfinsyah.co.cc/2011/01/hadist-keutamaan-silaturahmi.html
Ilahi Fadli Syaikh, http://www.almanhaj.or.id/content/964/slash
http://pujihpoltekkes.wordpress.com/2010/12/09/silaturahmi
www.jamal-alfath.blogspot.com/silaturahmi.html



[1] Syafe’I,Rachmat. Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia,2000) hal. 199.

Senin, 14 November 2011

ilmuan

BAB I
PENDAHULUAN

 Seorang tokoh yang bernama Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 h/980 m. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara. Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran. Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: Ilmu yang tak kekal, Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika.
Didalam konsep pendidikan,Ibnu Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti." Tampaknya tujuan ini bersifat universal. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat. Oleh sebab itu, tepat sekiranya ide-ide Ibnu sina dalam pendidikan dijeniskan kedalam kategori-kategori berikut:
1.      Tujuan-tujuan (aims) dalam pendidikan
2.      Pengetahuan (knowledge) dalam pendidikan
3.      Pelaksanaan (practices) metode (methodology),institusi-institusi, pembiayaan, dan hubungannya dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan seperti politik dan ekonomi
4.      Penilaian, yaitu kriteria yang digunakan untuk mengetahui tercapai atau tidak tujuan-tujuan pendidikan
BAB II
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN
IBNU SINA

  1. BIOGRAFI IBNU SINA
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Persoalan tahun kelahiran ibnu sina ini kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Muhammad muhith thabathaba’in penasehat kebudayaan Iran di Baghdad pada ceramahnya dihadapan para peserta kongres mengenai Ibnu sina yang bertepatan dengan peringatan wapatnya yang ke-1000 tahun di Baghdad.
Menurutnya, bahwaq tahun kelahiran Ibnu sina yang dikemukakan para ahli sejarah ada empat versi:
1)      Menurut keterangan Qifthi, Ibnu khalikhan dan Baihaqi Ibnu sina lahir tahun 370 H
2)      Menurut Ibnu abi ushaibah, Ibnu sina lahir tahun 375 H
3)      Menurut suatu keterangan, Ibnu sina lahir pada tahun 373 H
4)      Menurut keterangan lainnya, Ibnu sina lahir tahun 363 H[1]
Dalam tulisan ini, tahun kelahiran Ibnu sina yang dipergunakan adalah tahun 370 H atau 980 M, kerna tahun itulah yang lebih banyak dipergunakan  oleh para ahli sejarah.
 Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di Bukhara dikawasan asia tengah, ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus.
Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang,
Dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi  Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu .
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai.” Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan mempergunakan perpustakaan milik Nuh bin mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu sina yang berhasil mengobati penyakit sultan tersebut hingga sembuh.[2] Dalam bidang karier dan pekerjaan yang pertama ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas  pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya dimimta menyusun kunpulan pemikiran filsafat oleh Abu Al-husain Al-‘arudi. Untuk ini ia menyusun buku Almajmu’.
 Setelah itu ia menulis buku Al-hasbil. Setelah itu ia pergi ke Karakang yang termasuk ibu kota Al-khawarizm, dan didaerah tersebut Ibnu sina mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang baik. Didaerah itu Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa’. An-najab dan Al-qanun fi Al-thibb. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati.
Setelah itu Ibnu sina terserang penyakit colic, dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat. Dengan segala usahanya akhirnya ia mandi dan bertaubat kepada Allah, dan menyedekahkan segala kekayaannya kepada kaum fakir, memaafkan setiap orang  yang menyakitinya, dan membebaskan para budaknya. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamadan.[3]

B.     KARYA-KARYA IBNU SINA
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954. Karya- karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar 250 karya.[4]
Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais.
Pemimpin utama (dari filosof - filosof). Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum-minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum–minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran. Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum–minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta. Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras.
Untuk mengetahui jumlah yang agak pasti dari karangan Ibnu sina sedikit sulit. Namun peran yang dimainkan oleh seorang father dari Dominican di Kairo dalam bidang ini tidak dapat dilupakan begitu saja. Dari hasil penyelidikannya terhadap karya tulis Ibnu sina, ia mencatat sebanyak 276 buah. Sementara Philip K.Hitti dengan memakai daftar yang dibuat oleh Al-Qifti mengatakan bahw karya tulis Ibnu sina sekitar 99 buah.[5]
Karya Ibnu sina dalam bidang kedoteran antara lain Al-qanun fi Al-thibb, yang menjelaskan cara-cara pengobatan berbagai penyakit yang disebabkan oleh air dan tanah . sedangkan karya Ibnu sina dalam bidang filsafat antara lain As-syifa dan An-najab, yang menerangkan tentang filsafat dengan segala aspeknya dan karena sangat luas cakupannya. Selanjutnya karya Ibnu sina yang membahas tentang fisika adalah Fi aqsam Al-‘ulum Al-‘aqliyah, penerbitannya yang pertam,a kali dilakukan kairo pada tahun 1910 M. selanjutnya pemikiran Ibnu sina dalam bidang logika antara lain terdapat dalam karyanya yang berjudul Al-isaquji atau ilmu logika Isagoji.[6]
Sementara itu pandanan-pandangan Ibnu sina dalam bidang politik hampir tidak dapat dipisahkan dari pandangannya dalam bidang agama, karena menurutnya hampir semua cabang lmu keislaman berhubuangan dengan politik. Ilmu ini selanjutnya dibagi menjadi 4 cabang, yaitu ilmu akhlak, ilmu cara mengatur rumah tangga, ilmu tata Negara dan ilmu tentang kenabian. Kedalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Sementara itu pemikiran Ibnu sina dalam bidang sastra arab antara lain terdapat dalam bukunya lisan Al-arab yang jumlahnya mencapai 10 jilid. Buku ini menurut suatu informasi disusun sebagai jawaban terhadap tantangan dari seorang pujangga sastra bernama Abu Mansur Al-jubba’I dihadapan Amir ‘Ala Ad-daulah di Isfahan.


  1. KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA
Pemikiran Ibnu sina dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum , metode pengajaran, guru dan pelaksanaan hukuman dan pendidikan. Adapun aspek pendidikan yang berkenaan tentang tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu sina dapat dijelaskan  sebagai berikut:

v     Tujuan Pendidikan 
Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikanoleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan yang dicapai peradaban Islam di zaman kekhalifahan tak lepas dari keberhasilan dunia pendidikan.
Tujuan pendidikan sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan itu dapat dilihat dari tiga tahap yaitu tujuan khusus (objectives), tujuan umum (goals) dan tjuan akhir (aims). Bila digunakan dalam kurikulum maka tiga tahap tujuan ini masing-masing mencakup aspek tertentu dari tujuan itu. Kita ambil misalnya tujuan pelajaran kimia sebagai berikut:
1.      Murid-murid akan menguasai prinsip-prinsip ilmu kimia (tujuan khusus)
2.      Murid-murid akan sanggup berpikir secara kritis (tujuan umum)
3.       Murid-murid akan mencapai perwujudan diri (tujuan akhir)[7]
Pendidikan juga harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh.
 Menurut Ibnu Sina, pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, yakni mencakup perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Menurut dia, tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di tengah masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, dan potensi yang dimilikinya. Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina menekankan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti olahraga, makan, minum, tidur, dan menjaga kebersihan.
 Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia., menurut beliau sangatlah penting untuk memperhatikan aspek moral, dan juga perlu membentuk individu yang menyeluruh termasuk jiwa, pikiran dan karakter. Menurutnya, pendidikan sangat penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.[8]
Dengan demikian dalam rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu sina itu sudah terkandung strategi yang mendasar mengenai dasar dan fungsi pendidikan. Yaitu bahwa pendidikan yang diberikan kepada anak didik, selain harus dapat mengembangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimasyarakat, dengan suatu keahlian yang dapat diandalkan.
Jika beberapa pendapat Ibnu sina mengenai tujuan-tujuan  pendidikan tersebut dihubungkan antara satu dan lainnya, maka akan tampak bahwa Ibnu sina memiliki pandangan tentang tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis structural yaitu bahwa ia disamping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat universal sebagaimana yang dikutip pada bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau perbidang study dan tujuan yang bersiat operasional.
Selain itu, tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh, sebagaimana yang dikemukakan pada bagian pertama diatas. Ibnu sina juga ingin agar tujuan pendidikan universal itu diarahkan kepada terbentuknya manusia yang sempurna itu.
Pmikiran pendidikan Ibnu Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia barat sendiri pemikiran pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18. Dietrich Tiediman (1787) merupakan orang pertama kali di dunia barat yang menyusun psikologi anak-anak. Kemudian disusul oleh buku Die Seele Des Kindes karangan Wilhelm Preyer (1882) barulah para ahli pendidikan di barat mempelajari anak-anak melalui kajian ilmiah.[9]
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia yang meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'adah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu harus dicapai dengan memiliki akhlak mulia. Lalu jika individu yang merupakan anggota keluarga berakhlak mulia, maka keluarga itu pun akan bahagia pula dengan akhlak mulia. Selanjutnya keluarga yang berakhlak mulia akan menghasilkan masyarakat yang berakhlak mulia sehingga suatu masyarakat tersebut akan memperoleh kebahagiaan.
Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih. Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah "mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'adah) dalam hidupnya."
Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Ibnu Sina telah merumuskan tujuan secara sistematis. Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibnu Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiran-pemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibnu Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat.
Sebelum Ibnu sina memberikan klasifikasi pada hikmat itu ia menetukan tujuannya dahulu yaitu mencari sesuatu hakikat yang sesungguhnya sesuai dengan kesanggupan manusia. Sebagai salah satu tokoh falsafah Ibnu sina membahagikan falsafah teoritis pada tiga macam ilmu, masing-masing menurut darjat penglibatan tajuk tajuknya dengan materi dan gerakan atau kebebasannya dari gerakan dan materi itu. Ilmu-ilmu itu adalah:
1.      Ilmu tabi’I, yang disebut ilmu yang paling bawah
2.      Ilmu matematika, yang disebut ilmu pertengahan
3.      Ilmu ketuhanan, yang dipanggilnya ilmu yang paling tinggi, yaitu menurut derajat kebebasannya dari materi (Ibnu sina, 1908)[10]
Tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia yang meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu harus dicapai dengan memiliki akhlak mulia. Lalu jika individu yang merupakan anggota keluarga berakhlak mulia, maka keluarga itu pun akan bahagia pula dengan akhlak mulia. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.






















BAB III
KESIMPULAN

Tujuan pendidikan, menurut Ibnu Sina, harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, yakni mencakup perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Menurut dia, tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di tengah masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, dan potensi yang dimilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina menekankan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti olahraga, makan, minum, tidur, dan menjaga kebersihan, karena apabila semua itu dilupakan akan merugikan diri sendiri. pendidikan Islam Ibnu Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiran-pemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibnu Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat.












DAFTAR PUSTAKA

Raji, Muhammad, ILmuan muslim popular,  (Jakarta: Qultum media 2005)
Nata, Abuddin Dr.H. MA, Pemikiran para tokoh pendidikan islam. (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2003)
Jalaluddin, Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
Prof. Dr. langgulung, Hasan,. Manusia dan pendidikan   (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1989)
Arsyad, Natsir, ilmu muslim sepanjang sejarah  (Bandung: PT Mizan, 1992)
Ali, Said Ismail, Falsafah At-tarbiyah ‘ind Ibnu sina, (Mesir: Dar At-tsaqapah, 1984)
Arifin, H. M, filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Golden Trayon press, 1994)
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2098652-pemikiran-ibnu-sina/

Bana, Al-hasan, konsep Pembaharuan Masyarakat Islam, (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 1990)




[1] Dr.H. Abuddin nata MA.. Pemikiran para tokoh pendidikan islam  (Jakarta:  PT Raja grafindo persada, 2003) hal 60 ,
[2] Muhammad raji, ILmuan muslim popular,  (Jakarta: Qultum media 2005) .hal 108
[3] Dr.H. Abuddin nata MA.. Pemikiran para tokoh pendidikan islam. (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2003) ,hal  65

[4] http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2098652-pemikiran-ibnu-sina
[5] Dr.H. Abuddin nata MA.. Pemikiran para tokoh pendidikan islam. (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2003) ,hal  67
[6] Natsir Arsyad, ilmu muslim sepanjang sejarah . (Bandung: PT Mizan, 1992) hal  66
[7] Prof. Dr. Hasan langgulung. Manusia dan pendidikan   (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1989) hal 103
[8] Prof. Dr. Hasan langgulung. Manusia dan pendidikan   (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1989) hal 102
[9] Ali, Said Ismail, Falsafah At-tarbiyah ‘ind Ibnu sina, (Mesir: Dar At-tsaqapah, 1984)
[10] Prof. Dr. Hasan langgulung. Manusia dan pendidikan   (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1989) hal 109